Ujian Tauhid di Tengah Derita

Bagikan Keteman :

Usiaku kala itu baru menginjak 24 tahun. Di saat banyak orang seusia diriku sedang semangat menata masa depan, aku justru tergeletak tak berdaya. Sakit yang menimpaku bukan sakit biasa—tubuhku membungkuk ekstrem, tak bisa duduk apalagi berbaring. Aku hanya bisa “melungker” seperti bola yang mengerut, menahan nyeri yang tak terkatakan. Derita itu berlangsung berbulan-bulan tanpa titik terang dari beragam pengobatan medis dan alternatif.

Di tengah derita yang panjang itu, datanglah seorang kerabat dengan wajah penuh kepedulian. Ia menengokku, lalu berkata pelan, “Saya bawa seseorang yang mungkin bisa membantu…” Aku tahu niatnya tulus. Maka saat seorang tabib tradisional datang, aku sambut dengan lapang dada, walau dalam hatiku ada keraguan. Setelah memeriksa sebentar, sang tabib berbisik kepada kerabatku lalu berkata padaku, “Ini bukan sakit biasa. Ini ada unsur gaibnya. Bisa jadi karena kiriman… atau bahkan tumbal.”

Aku hanya diam. Kalimat itu tidak membuatku terkejut. Aku sudah mendengar bisik-bisik serupa dari beberapa orang sebelumnya. Tapi yang membuatku ragu adalah saat tabib itu mengeluarkan sebuah sabuk karet hitam. Ia menyebutnya sebagai media pelindung—jimat yang harus kupakai terus-menerus, kecuali saat ke kamar kecil. “Pakailah ini, insyaAllah akan ada perubahan,” katanya yakin.

Aku menunduk sejenak, lalu dengan halus berkata, “Bolehkah saya coba selama satu minggu saja?” Kerabatku mengangguk. Mungkin ia merasa senang karena aku bersedia mencoba. Tapi tidak ada seorang pun yang tahu, bahwa keputusan itu bukan semata karena harapan sembuh. Justru aku sedang menjalani ujian terbesar dalam Tauhidku.

Dalam hati aku berkata: “Ya Allah, Engkau tahu mengapa aku memakainya. Bukan karena percaya, bukan karena ragu pada-Mu, tetapi karena aku ingin menghargai kerabatku. Maka, wahai Tuhan Yang Maha Esa, aku mohon, selama aku mengenakan sabuk ini, jangan Engkau izinkan terjadi perubahan sedikitpun pada tubuhku. Biarlah tetap seperti ini agar aku tidak tertipu. Jangan biarkan hatiku condong pada jimat ini, jangan Engkau biarkan akidahku berpaling dari-Mu…”

Itulah doaku selama seminggu penuh. Bukan doa agar sembuh, tapi doa agar tetap sakit demi menjaga Tauhid. Aneh memang, tapi itulah bentuk kehati-hatian imanku. Sebab aku sadar, jika aku sembuh justru karena mengenakan benda itu, maka seumur hidup hatiku bisa tersesat. Aku bisa menyimpan kepercayaan keliru—bahwa yang menyembuhkan adalah jimat, bukan Tuhan. Dan itu adalah kekalahan spiritual yang paling berbahaya.

Hari-hari berlalu, dan sebagaimana doaku, tak ada perubahan sedikit pun pada tubuhku. Rasa sakit tetap mendera, tubuh tetap melungker, bahkan nyeri tak berkurang setitik pun. Tapi yang tak terlihat oleh mata justru lebih penting: Tauhidku selamat. Hatiku lega, pikiranku jernih, dan aku merasa seperti telah memenangi peperangan batin yang dahsyat.

Setelah seminggu, aku lepaskan sabuk itu dan tak pernah memakainya lagi. Bukan karena marah, bukan karena menolak bantuan orang baik, tapi karena aku ingin tetap berpaut hanya pada Allah. Sembuh atau tidak, hidup atau mati, aku ingin tetap bertawakal pada-Nya, tidak pada benda buatan manusia yang tak punya daya apa-apa.

Dari pengalaman itu aku belajar, bahwa ujian Tauhid kadang tidak datang dalam bentuk pengingkaran, tetapi justru dalam bentuk pilihan halus yang mengaburkan antara ikhtiar dan syirik kecil. Jika kita tidak awas, hati kita bisa terbelah tanpa sadar.

Aku bersyukur, Tuhan memberiku kejelasan, bahkan di tengah sakit yang paling gelap. Kini, aku berjalan dalam hidupku yang kedua, dengan keyakinan yang lebih bulat: bahwa hanya Allah-lah tempat bersandar yang sejati.


By: Andik Irawan

Related posts

Leave a Comment